Menjadi jurnalis lepas dengan memanfaatkan kanal YouTube merupakan hal yang menjanjikan. YouTube menawarkan kebebasan berkarya termasuk pendapatan yang cukup besar. Bahkan tak sedikit pundi-pundi yang didapatkan setiap bulannya bila berhasil menarik penonton dari kanal ini. Setidaknya hal tersebut yang dirasakan sutradara film dokumenter sekaligus video jurnalis, Lexy Rambadeta.

Foto Lexy Rambadeta

Dalam sebulan, Lexy bisa mengantongi pendapatan dari YouTube sebesar USD 400 sampai USD 700. Bahkan, ia pernah mendapatkan hingga USD 3.000 perbulannya. Lexy mengatakan bila platform YouTube merupakan sarana yang menjanjikan untuk jurnalis.

Lexy mengawali profesi jurnalistiknya pada tahun 1998 saat bekerja untuk beberapa organisasi news media seperti CBC (Canadian Broadcasting Corporation), WTN (Worldwide Television News), APTN, dan lain-lain. Kemudian ia berkarir mempelajari video jurnalisme saat bekerja untuk program Dateline-SBS (Special Broadcasting Service). Tak terhitung pula berbagai kerja kolaborasinya sebagai researcher hingga field producer/manager dengan berbagai media dan institusi internasional. 

Lexy telah berproses kreatif dalam dunia audio visual sejak 1994 silam saat kuliah di bidang Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada. YouTube sendiri menjadi hal yang akrab dengan Lexy sejak tahun 2007. Kemudian tujuh tahun berselang tepatnya pada tahun 2014, Lexy melakukan eksperimen dalam jurnalisme videografi dengan memproduksi berbagai video tanpa menampilkan wajahnya di channel YouTubenya sendiri yaitu Jakartanicus

Jakartanicus mempublikasikan banyak studi penting, penelitian, temuan, ide, peristiwa akademik, yang di filmkan dan direkam secara profesional. Dalam setiap unggahan seluruh pembicaraan/acara, Jakartanicus menangkap peristiwa tersebut secara penuh dan tidak memberikan komentar atas video tersebut layaknya perusahaan media. Tak heran bila durasi video di Jakartanicus tersaji cukup panjang. 

“Menurutku melalui durasi yang panjang penonton akan terseleksi, siapa yang sebenarnya memang membutuhkan informasi atau tidak. Biasanya orang kalau sudah melihat durasi panjang di dua menit pertama saja sudah nggak lanjut. Tapi kalau butuh informasi tersebut ya lanjut menonton,” tutur Lexy. 

Bagi Lexy YouTube merupakan platform yang dapat memfasilitasi karya jurnalisme independen. Tak ada tenggat waktu, tidak ada sensor, tidak ada kontrol dari penguasa, dan tidak tergantung pada durasi. Jurnalis memiliki kontrol penuh terhadap karya jurnalistik yang dihasilkannya. 

“Menurutku YouTube merupakan platform yang memberi tempat bagi para jurnalis pinggiran seperti aku untuk membuat cerita yang independen dengan tanpa ada deadline. Itu model kerja yang aku senangi,” ujarnya. 

Selain disibukkan membuat film dokumenter dan video untuk sejumlah organisasi internasional, ia mengaku channel YouTube Jakartanicus telah menjadi sumber pendapatan pasif baginya. Namun, sebelum menjadi sumber kantong pendapatannya, channel YouTube yang dikembangkan haruslah stabil dari segi revenue stream

Menurut Lexy revenue stream dari YouTube memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, adalah jumlah penonton yang stabil dan loyal. “Untuk memiliki penonton yang loyal, hal ini dapat terbentuk bila audience kita memiliki pengalaman nonton yang membuat mereka senang. Jadi menonton jakartanicus bagi segelintir orang itu mendapatkan pengalaman yang enak sehingga mereka mau menyebar luaskan rasa enak itu ke sekitarnya. Itu jadi domino efek yang dapat mengundang penonton-penonton lainnya,” jelasnya. 

Menurut Lexy untuk mendapatkan penonton yang loyal, fokus membuat konten video merupakan sebuah kunci. Sehingga penonton puas menyaksikan tayangan video tersebut dan dapat menyebarluaskan apa yang telah dilihatnya. “Karya videomu menjadi bahan perbincangan sehingga orang lain tertarik untuk menontonnya pula. Dengan begitu penonton yang loyal akan terbentuk dan membuat revenue stream naik,” ujar Lexy. 

Selain itu menurutnya, kisah berupa storytelling dengan karakter yang kuat menjadi karya yang banyak diminati. 

Kedua, pentingnya untuk memperhatikan penonton tersebut siapa dan berasal dari mana. Menurut Lexy besar kecilnya revenue stream bergantung pada lokasi penonton dan siapa yang menonton. Ia memberi contoh asal penonton dari Indonesia dan dari negara Skandinavia yang memberi dampak berbeda terhadap revenue stream. “Jadi misalnya penonton channel kita ada satu juta orang dari Indonesia. Tapi ternyata revenuenya kecil, padahal penontonnya sejuta. Namun saat lihat data, penonton kita dari negara Skandinavia cuma seribu, tapi menghasilkan revenue stream yang lebih banyak,” tuturnya.  

Menurut Lexy, setiap penonton di profile oleh YouTube sehingga memiliki nilai yang berbeda. Hal tersebut berdasarkan tingkat pendidikan, kelas sosial, dan geografis. Untuk mendapatkan penonton loyal dengan revenue stream tinggi, kreator video perlu menyasar penonton luar Indonesia yang memiliki ketertarikan dengan cerita-cerita dari Indonesia. “Membuat video dengan target penonton orang keturunan Indonesia atau orang-orang yang tertarik dengan cerita-cerita Indonesia namun tinggal di luar negeri. Kepada merekalah story kita diarahkan, itu akan menghasilkan revenue stream tinggi ketimbang penonton dari Indonesia yang jumlahnya banyak,” ujar Lexy. 

Menurut Lexy orang-orang yang memiliki akar Indonesia di luar negeri cukup besar jumlahnya. Misalnya saja di Belanda, sekitar sepertiga orang Belanda memiliki akar orang Indonesia yang tentu punya ketertarikan dengan cerita-cerita Indonesia. Kepada merekalah target penonton diarahkan. 

“Jadi jangan menyasar penonton di Indonesia, kalau jamanku dulu tahun 2014 itu beda situasinya dengan saat ini. Kalau sekarang terlalu banyak YouTuber, jadi cari audience loyal tuh sulit. Kalau aku sudah mendapat audience loyal, jadi stabil. Kalau sudah memiliki audience loyal,  ya sudah domino efek nggak habis-habis,” tutup Lexy. (*)