Seorang pengamat media sosial populer Indonesia bulan lalu menyebut di Twitter bahwa salah satu media online terbesar di Indonesia baru saja kehilangan satu juta pembaca dalam sebulan, dan jumlahnya terus berlanjut.

Sulit untuk membuktikan keakuratan pendapat tersebut apalagi dengan kematian Alexa tahun ini, tidak ada lagi sumber pemeringkatan gratis atau perkiraan jumlah pembaca di media online. Namun, pernyataan turunnya pembaca media online tersebut cukup masuk akal mengingat saat ini terjadi tren penurunan jumlah pembaca media-media online

Pengamat tersebut mempertanyakan apakah kehilangan jutaan pembaca menandakan titik balik media online, dimana penurunan jumlah pembaca akan semakin tajam dan tak dapat diubah lagi.

Pendapatnya ada benarnya, tetapi terlalu dini untuk mengatakan media online telah mencapai titik balik apalagi saat ini pemerintah sedang mempersiapkan regulasi hak cipta jurnalistik.

Peraturan ini menjadi penting karena dapat memberikan kesempatan kepada media online untuk membalikkan tren penurunan terutama dari aspek bisnis.

Penurunan jumlah pembaca yang kemudian memangkas pendapatan iklan telah dialami media berita online beberapa tahun terakhir. Sebagian besar media online menyalahkan platform media sosial beserta mesin pencari dan algoritmanya akan fenomena ini.

Mereka menyatakan bahwa jika media online tidak mengikuti prinsip algoritma dengan menerbitkan cerita tentang topik yang sedang viral atau sedang tren- sangat sulit bagi mereka untuk menarik perhatian pembaca. Berita yang muncul ke lini masa pembaca saat ini ditentukan oleh algoritma.

Kecepatan media sosial, menurut mereka, juga mempersulit pekerja media untuk mengikuti praktik jurnalisme profesional seperti riset yang memadai, mendapatkan informasi lengkap dari berbagai sumber melalui cek dan ricek fakta dan verifikasi klaim narasumber.

Hasilnya, produk jurnalistik Indonesia saat ini sebagian besar merupakan variasi dari cut-and-paste dengan sedikit atau tanpa checks and balances. Kecepatan produksi berita telah mengalahkan akurasi.

Penurunan kualitas produk jurnalistik secara alami menyebabkan banyak pembaca tidak lagi mencari berita dari media online. Akibatnya, pendapatan dari iklan pun menurun. Tampilan beberapa portal berita online tidak nyaman dibaca karena iklan yang muncul mengganggu pembaca. Pengalaman yang tidak menyenangkan karena tampilan iklan ini semakin membuat pembaca pergi meninggalkan media online. Tidak heran, Indonesia menjadi salah satu pengguna pemblokir iklan tertinggi.

Jika kondisi ini terus berjalan, tampaknya senjakala media online semakin dekat.

Tapi, masih ada kesempatan untuk membalikan keadaan. Pemerintah Indonesia sedang menyusun peraturan untuk menegakan hak-hak penerbit media.

Jika itu terjadi maka media berita berpotensi bebas dari cengkraman algoritma – jika mereka bertindak bersama. Gagasan di balik hak cipta jurnalistik adalah memberi penghargaan kepada penerbit yang menghasilkan konten bermutu dengan membuat perusahaan platform global membayar lebih mahal.

Jika peraturan itu dilaksanakan maka media berita dapat bebas dari aturan algoritma – jika para pemilik media bertindak bersama. Gagasan di balik hak cipta jurnalistik adalah penghargaan kepada penerbit yang menghasilkan konten bermutu dengan membuat perusahaan platform global seperti media sosial dan mesin pencari membayar lebih mahal kepada penerbit saat mempublikasikan ulang produk mereka.

Kondisi seperti ini mengembalikan beberapa bentuk kontrol ke penerbit atau portal berita online. Bagaimana mereka menggunakan kesempatan ini mungkin akan menentukan apakah mereka akan terus ada atau bergabung dengan dinosaurus.

Regulasi tersebut dapat mengembalikan kontrol penerbit atau media online atas karya mereka.  Apakah mereka dapat menggunakan kesempatan akan menentukan apakah mereka akan bertahan atau punah seperti dinosaurus.

Media perlu menyadari bahwa nilai terpenting mereka bagi pembaca adalah untuk memberikan informasi dan edukasi bukan semata-mata menghibur. Kita hidup dalam lingkungan yang dikelilingi oleh berita palsu, deep fakes, dan kejahatan siber.  Pembaca menginginkan sumber berita yang dapat dipercaya.  Ini merupakan peran tradisional media dan nilai penting media bagi masyarakat.

Di era internet dan demokratisasi distribusi informasi, berpegang teguh pada peran ini dapat membuat media memiliki lebih sedikit pembaca karena sebagian besar publik hanya mencari hiburan. Ini adalah perkembangan yang mungkin perlu diterima oleh media sebelum mereka bergerak maju. Jumlah pembaca yang lebih sedikit tetapi lebih cerdas, tidak akan keberatan untuk membayar berita bermutu. Para pengiklan tentunya ingin mendapatkan akses ke karakter pembaca ini.

Perombakan dan konsolidasi bagi industri berita menjadi tidak terhindarkan. Hanya sedikit media yang akan bertahan, banyak yang akan binasa, tetapi proses itu telah terjadi. Media tidak boleh menyiakan kesempatan mereka untuk mengatur ulang strategi dan kembali pada misi awal.

Ditulis oleh Liston Damanik, Senior Associate