Ironis. Kata yang tepat untuk menggambarkan tindakan pemblokiran yang dilakukan oleh Kemenkominfo terhadap platform gaming seperti Steam, Origin dan Epic Games.
Kemenkominfo telah merancang regulasi tentang penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat sejak 2 tahun yang lalu melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020. Dengan dalih untuk melindungi negara dan masyarakat dari ancaman di ruang digital, termasuk menjamin tingkat keamanan data yang dikelola oleh PSE lingkup privat.
Di sini terletak ironi yang pertama, karena seperti yang kita ketahui, kebocoran data yang masif malah banyak terjadi dalam lingkungan pemerintahan sendiri.
Salah satu contoh teranyar adalah data 279 juta penduduk Indonesia yang berhasil dibobol dari BPJS Kesehatan dan dijual di forum hacker Raidforum. Kemenkominfo kemudian hanya memblokir akses publik ke Raidforum (yang ironisnya lagi bisa ditembus dengan menggunakan VPN), tindakan yang tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu kebocoran data yang terjadi.
Investigasi yang dilakukan oleh Kemenkominfo terhadap kasus kebocoran ini juga tidak menunjukkan kemajuan walau sudah dilakukan berbulan-bulan.
Maka tidak mengherankan bila kemudian ada yang mempertanyakan kompetensi Kemenkominfo dalam menguji tingkat keamanan data di PSE lingkup privat, mengingat bahwa kebocoran data justru kerap terjadi di lingkungan pemerintahan. Ibarat pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.”
Ironi kedua adalah sikap pemerintah yang sering kali menggaungkan jargon-jargon mendukung industri e-sport nasional dan ekonomi digital, tetapi sikap yang diambilnya berbanding terbalik.
Pemblokiran tanpa sosialisasi yang baik berdampak tidak hanya pada publik sebagai penikmat game tapi juga merugikan developer game dalam negeri yang mendistribusikan game lewat platform tersebut.
Hal ini diperburuk lagi dengan masih terbukanya akses menuju beberapa aplikasi judi online yang mendaftar PSE lingkup privat, seakan Kemenkominfo hanya mementingkan sisi administratif tanpa mempertimbangkan dampak dari kebijakan ini.
Terlepas dari jargon-jargon pemerintah yang mengklaim mendukung industri game atau e-sport, di sini dapat dikatakan bahwa pemahaman pemerintah dalam industri gaming masih sangat minim.
Industri game dan para pemainnya adalah ekosistem yang sangat mementingkan komunitas, bahkan komunitas dan forum diskusi yang aktif merupakan salah satu ciri khas gamers. Kita bisa melihat diskusi mereka di berbagai media sosial seperti Twitter, atau di website forum seperti Reddit, dan 4chan.
Pola komunikasi yang ada dalam industri game sangat berbeda dengan di industri lainnya, bahkan developer-developer besar sangat mengandalkan komunitas dan forum untuk berdiskusi dan meluncurkan game mereka.
Salah satu platform terbesar untuk berkomunitas ini adalah Steam. Steam bukan hanya platform untuk membeli game saja, tetapi juga sebuah forum dan komunitas di mana para gamers dan developers berdiskusi. Maka kebijakan pemblokiran yang top-down seperti ini menunjukkan kurangnya pemahaman regulator mengenai industri gaming.
Sebenarnya, banyak hal yang bisa dilakukan dan dikomunikasikan oleh pemerintah guna merangkul dan memaksimalkan industri game di Indonesia. Alih-alih membentuk organisasi e-sport pemuda yang hasilnya kurang konkret, pemerintah dapat berkomunikasi terlebih dahulu dengan pemain industri.
Mengerti sifat-sifat komunal dari komunitas gamers, serta membuka jalan bagi para developers lokal, menjaring aspirasi dengan baik dan mengetahui keresahan serta apa yang dibutuhkan industri adalah tahap penting yang seringkali dilewati pemerintah dalam membuat kebijakan.
Berbagai kebijakan, dari UU ITE, Regulasi PSE, sampai dengan wacana DNS Nasional merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk mencoba meregulasi ruang digital yang sifatnya sangat dinamis dan susah ditebak.
Namun, seperti yang kita tahu, sejauh ini semua kebijakan tersebut mendapat penerimaan yang kurang baik dari publik, karena justru isu yang urgen seperti perlindungan data dan privasi masih belum dibenahi.
Walaupun seringkali melontarkan jargon Industri 4.0 atau Revolusi Digital, sepertinya perlu ada upaya dari pemerintah untuk lebih memahami lanskap digital. Mungkin salah satunya adalah dengan mempertimbangkan pendekatan yang lebih grassroot dibanding top-down ketika merancang regulasi atau kebijakan untuk internet, seperti dengan melibatkan sektor swasta dan komunitas yang terkait.
Ditulis oleh Juan Liongnardo dan Daffa Naradhipa