Credits: Tirto.id

Di era internet dengan informasi panas yang mudah viral, sebagian besar “krisis” yang mempengaruhi bisnis terjadi di lingkup media sosial. Perusahaan/brand melakukan sebuah kesalahan, lalu netizen berkomentar dan saling berteriak dalam badai twitwar. Isu akan berangsur turun saat publik yang permisif dan mudah lupa ini, kemudian move on ke isu panas lainnya. Maka tidak heran sapaan pagi yang lazim sekarang adalah “ada twitwar apa hari ini?”

Namun sayang, bukan demikian yang terjadi dengan Holywings.

Kasus viralnya di dunia maya berujung pada konsekuensi yang harus mereka tanggung di dunia nyata. Hampir seluruh gerainya, dengan total 36 dari 38 gerai, ditutup oleh Pemerintah Daerah setempat. Tak hanya sampai di situ, 6 orang karyawannya, termasuk creative director dan admin media sosial ditahan oleh pihak kepolisian. Bahkan yang terkini, ada gugatan dari warga yang menuntut ganti rugi material dan immaterial fantastis sebesar 36 triliun rupiah!

Apa yang salah dengan Holywings? Mengapa “krisis” mereka tidak selesai di dalam ranah dunia maya saja?

Manajemen Holywings melakukan beberapa “dosa” jika dilihat dari prinsip-prinsip Crisis Management. Dosa yang pertama adalah kegagalan manajemen dalam bertanggung jawab penuh atas insiden yang terjadi. Sehari setelah kasus ini viral, co-founder Holywings menyampaikan permintaan maaf melalui akun resmi. Namun, pernyataan tersebut dibumbui dengan dalih bahwa desain marketing gimmick “Maria” dan “Mohammad” tersebut belum disetujui/di-approve oleh top Manajemen.

Jika manajemen Holywings memahami konsep regret, reason, dan remedy dalam merespon sebuah insiden, mungkin mereka dapat menghindari dosa pertama dalam kasus ini. Dalam kondisi krisis, apalagi dalam kasus yang sensitif, publik tidak ingin melihat sikap top officials yang cepat-cepat cuci tangan. Sikap yang ditunggu adalah para pemimpin yang mengakui bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang terjadi dan segera berusaha memperbaikinya. Dalam kasus ini, justru top management bersembunyi di balik statement yang kemudian segera menuai protes keras.

Kemudian beredar viral pengakuan karyawan atas sikap manajemen Holywings atas panggilan dari pihak kepolisian, yang meminta para desainer dan admin media sosial ini mengurus sendiri kasusnya. Inilah “dosa” yang kedua: manajemen justru menjerumuskan para karyawan ke ranah hukum. Akibatnya, semakin banyak kelompok masyarakat yang tersenggol karena isunya meluas dari isu SARA ke isu ketenagakerjaan.

Perlu disadari bahwa ada hal yang berbeda antara memenangkan kasus di pengadilan pidana, dan memenangkan perkara di “pengadilan opini publik”. Saat menghadapi opini publik, diperlukan seorang spokesperson yang simpatik, yang dapat bergerak cepat namun tidak kehilangan gesture yang adem, dan juga harus jauh dari sikap defensif maupun arogan. Sayangnya, personality traits tersebut luput dari pilihan Holywings. Belum lagi dengan tambahan dampak dari messaging Hotman yang justru menunggangi pesan Holywings dan seakan mengecilkan masalah, dengan mengatakan bahwa masalah ini adalah serangan pribadi dari musuh-musuhnya yang mengetahui posisi Hotman sebagai pemegang saham.

Rentetan “dosa-dosa” yang dilakukan ini, menjadikan Holywings salah satu “most hated” brand. Sedemikian gusarnya publik terhadap Holywings, perusahaan ini mampu mencapai sesuatu yang bahkan belum dapat dicapai oleh politisi atau pemimpin manapun: menyatukan seluruh spektrum masyarakat Indonesia.

Sebuah meme nyinyir beredar menyadari bahwa dari kalangan konservatif, agamis, hingga liberal senoparty, dan kelompok ekstrem kiri, semua bersepakat satu suara: Holywings ditutup saja.

Kemarahan publik tersebut ditangkap oleh sistem analisis media sosial berbasis big data, Drone Emprit, yang melakukan analisis dan menemukan bahwa banyak tokoh yang kontra dengan promosi miras Holywings dan bersuara di media sosial. Mereka terdiri dari 25 Perwakilan Ormas, 14 Politisi, 8 Tokoh Agama (MUI, Muhammadiyah, PWNU), dua Akademisi, dua Pihak Kemenag, satu Ketua Umum Asosiasi Hiburan, satu Ketum Masyarakat Syariah, satu Kolumnis, satu Wakil Gubernur, satu Pejabat Disparekraf, dan satu Kuasa Hukum.

Kesialan yang menimpa Holywings ini semakin bertambah seiring dengan mulai   menghangatnya suhu politik menjelang tahun pemilu 2024. Banyak Pemerintah Daerah yang kemudian merasa perlu untuk melakukan investigasi atas resto-resto Holywings di wilayah masing-masing. Sehingga keadaan semakin diperparah bagi Holywings setelah adanya temuan tidak dipenuhinya berbagai izin terkait operasional, hasil investigasi yang terdesak oleh suara gaduh netizen.

Jika manajemen Holywings punya crisis preparedness alias keterampilan atau kesiapan dalam mengatasi krisis, mungkin masih ada harapan bagi mereka untuk lanjut berbisnis. Diperlukan keberanian dari puncak manajemen untuk bertanggung jawab penuh sedari awal, pentingnya menghindari shift blaming atau finger pointing, dan segera melakukan assesment resiko, mengingat luar biasa banyaknya stakeholders yang berkaitan dengan bisnis mereka, baik secara vertikal maupun horizontal.

Pasca meledaknya kasus ini, beberapa pihak mengingat outwear brand Eiger dan media sosial blunder-nya, dan kembali mengapresiasi bagaimana sang CEO langsung pasang badan, memohon maaf, dan mengatasi kesalahan yang terlanjur terjadi. Kasusnya berujung damai dan dapat melanjutkan business as usual. Bahkan Eiger mendapatkan PR awards untuk Best Crisis Management Strategy.

Jadi, apa yang dapat kita tarik dari kasus ini? Terlihat jelas pentingnya setiap perusahaan untuk mempunyai kesiapan dalam menghadapi krisis. Jangankan jenis usaha yang memang sudah sensitif dari awal, kesalahan-kesalahan kecil dari industri yang relatif “aman” pun, punya potensi untuk menjadi tidak terkendali.

Ditulis oleh Agnes Karina Rosari